Skip to content

Ideologi sebagai Dasar Penilaian: Refleksi tehadap Film Tilik (Oleh Jonathan Kurniawan, Basindo 19)

  • by

Pada dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari ideologi. Ideologi merupakan aspek internal yang melekat dalam diri manusia. Segala tindakan, sikap, dan pemikiran yang dimilikinya pasti dipengaruhi oleh ideologi yang diterimanya. Bahkan, ketika berpikir tidak terpengaruh oleh suatu pemahaman, manusia baru saja menunjukkan bahwa dirinya memiliki ideologi tertentu. Menurut Faruk (1994: 74), ideologi disebarkan dengan cara melibatkan berbagai lembaga, seperti media massa, sekolah, atau lingkungan sekitar. Selain menjadi dasar pemikiran internal manusia, ideologi juga digunakan untuk menyikapi hal eksternal. Menurut Faruk (1994: 61), ideologi berfungsi sebagai dasar penciptaan ruang mobilisasi manusia dan mengorganisasikan massa. Ideologi dapat menjadi standar yang secara tidak langsung memengaruhi segala penilaian, sikap, dan tindakan seseorang terhadap hal eksternal. Mereka yang memiliki anggapan bahwa musik adalah haram, misalnya, akan menilai segala bentuk musik merupakan hal yang haram. 

Ideologi pun bisa ditemukan dalam film sebagai salah satu karya sastra. Menurut Pujiharto (2010: 18), karya merupakan media untuk memanifestasikan pengalaman estetis dan kemanusiaan seseorang ke dalam suatu tulisan. Sebagai karya sastra yang merefleksi nilai kemanusiaan, film memiliki pengalaman kemanusiaan di dalamnya. Dasar ini, menurut saya, merupakan realitas bahwa film pun merefleksikan ideologi. Ini dicerminkan melalui penokohan, baik dari segi nilai, norma, tindakan, atau sikap seorang tokoh. Seorang tokoh bersikap terhadap sesuatu berdasarkan ideologi yang dimilikinya. Salah satu film yang merefleksikan relasi ideologi sebagai dasar penilaian, menurut saya, ialah Tilik (2020). 

Tilik merupakan film pendek yang diproduksi oleh Ravacana Film pada September 2018 dan didukung oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DI Yogyakarta. Film ini disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo. Film ini mengisahkan rombongan ibu-ibu yang hendak tilik ‘menjenguk’ Bu Lurah yang sedang sakit. Cerita ini berfokus pada gosip yang diberikan Bu Tejo perihal Dian, yang menjadi sumber konflik sekaligus klimaks dalam film. Dalam film ini, terdapat beberapa karakter yang menonjol, seperti Bu Tejo, Dian, dan Yu Ning. Menurut saya, yang menjadikan film ini menarik bukan pertengkaran antara Bu Tejo dan Yu Ning yang mempermasalahkan status Dian sebagai wanita yang mempunyai pasangan laki-laki tua, tetapi ideologi yang dimiliki Bu Tejo dan Yu Ning merefleksikan penilaian mereka terhadap Dian.

Bu Tejo memiliki ideologi konservatif. Bu Tejo menganggap sesuatu yang jarang dilakukan di masyarakat adalah hal yang tabu. Contohnya ialah ketika Bu Tejo meragukan pekerjaan Dian yang dianggap tidak jelas, mempertanyakan sumber pendapatan Dian, dan mempermasalahkan status Dian yang berpasangan dengan laki-laki tua. Aspek konservatif dapat diketahui dari penilaian terhadap aspek-aspek tersebut yang dianggap negatif, jauh dari kebiasaan masyarakat. Kesinisan Bu Tejo menunjukkan dirinya tidak setuju dengan kondisi Dian yang berbeda dengan pandangannya perihal perempuan, seperti seharusnya menikah muda dengan pasangan yang seumur dan memiliki pekerjaan yang “halal”. Hal ini menjadikan Bu Tejo gemar menggosipkan Dian selama perjalanan. 

Yu Ning merupakan representasi ideologi tandingan yang dihadirkan dalam film ini. Dalam film ini, Yu Ning berstatus sebagai saudara Dian. Karena memiliki hubungan saudara, Yu Ning membela Dian dari gosip yang disampaikan Bu Tejo. Hal ini diketahui dari tindakan Yu Ning yang menentang dan membantah Bu Tejo yang memberikan komentar negatif kepada Dian. Ketidaksetujuan Yu Ning terhadap gosip yang disampaikan Bu Tejo menunjukkan bahwa dirinya menganggap tindakan Dian adalah hal yang wajar. Yu Ning juga menekankan pada status Dian yang tinggal di daerah kota (sehingga pemikirannya berbeda) dan kondisinya yang tidak memiliki ayah (sehingga pasangannya lebih tua). 

Dian merupakan aspek penilaian antara dua ideologi. Perbedaan penafsiran Bu Tejo dan Yu Ning terhadap Dian merupakan representasi dari pandangan mereka terhadap Dian, bahkan perempuan. Bu Tejo, sebagai protagonis, menyebarkan anggapannya terhadap Dian, mulai dari pekerjaannya yang dianggap tidak jelas hingga statusnya sebagai pasangan lelaki tua. Ideologi Bu Tejo menganggap Dian sebagai hal negatif karena bertentangan dengan kebiasaan masyarakat sehingga muncullah gosip buruk terhadap Dian. Yu Ning, sebagai antagonis, membela Dian dan menyatakan ketidaksetujuannya dengan Bu Tejo. Ideologi Yu Ning menganggap Dian sebagai hal yang netral, seperti manusia pada umumnya. 

Ideologi, jelas, menjadi aspek internal yang mendasari penilaian eksternal seseorang. Bu Tejo yang menilai Dian sebagai “perempuan bandel” mencerminkan bahwa hal yang berada di luar masyarakat sering disebut aneh dan tabu. Yu Ning sebagai saudara Dian menganggap pekerjaan, latar belakang, dan kondisinya masih bisa ditoleransi. Terlepas dari unsur intrinsik film, film ini membuktikan bahwa penilaian terhadap sesuatu didasari oleh ideologi yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, apa pun alirannya, ideologi sangat memengaruhi penilaian seseorang terhadap sesuatu.

 

 

 

 

Sumber:

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pujiharto. 2010. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Elmatera.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.