Skip to content

Wanita Paruh Baya Seberang Rumah (oleh Silma Salsabilla, Basindo 20)

 

Derap langkah kaki yang terpijak dengan cepat, suara tawa yang menggema seisi ruangan, serta pecahan tangis yang menggelegar. Begitulah kondisi salah satu rumah minimalis di dalam hutan. Setiap hari selalu demikian. Hal itu disebabkan oleh Rezi yang hobi mengganggu setiap anggota keluarganya karena ia selalu ditelan kebosanan. Hanya ada 10—15 saja rumah di area tersebut. Entahlah, Rezi lupa menghitungnya sampai berapa kemarin. Makanya, ia tidak punya teman sebaya karena kejarangan penduduk di wilayah terpencil itu. Namun yang jelas, saat ini ia harus kabur dari kejaran Rizka, adiknya yang menangis karena es krim telah tandas di tenggorokan Rezi dalam sekali lahap.

“KAKAAAAK!” 

Lelaki berumur 14 tahun itu keluar rumah kemudian berlari dengan kencang. Ia tahu bahwa adiknya tidak akan mengejar sampai keluar rumah, paling hanya sampai teras.

Kulitnya yang sensitif akan sinar matahari membuat Rizka selalu terkurung dalam ruangan. Tidak pernah lagi merasakan sinar matahari sejak penyakitnya hadir menyelimuti kulit. Rezi tertawa melihat Rizka yang makin mengencangkan tangisan saat kembali masuk ke dalam rumah. Terdengar juga suara sang Ibunda yang baru muncul, menenangkan putri bungsunya.

Rezi berhenti berlari. Ia terpogoh-pogoh karena napasnya seolah habis ia sumbangkan untuk udara sore hari ini. Pohon-pohon di sekitarnya begitu lebat menjulang, meneduhi tanah yang bisa saja gersang. Hal ini selalu mengingatkan Rezi bahwa alasan keluarganya memilih pindah ke tempat minimalis cahaya matahari seperti ini, salah satunya karena Rizka. Rezi sebenarnya iba karena adiknya memiliki penyakit langka, juga kedua orang tuanya yang selalu giat mencari pengobatan alternatif karena tidak cukup mampu untuk membawa Rizka ke pengobatan intensif di rumah sakit. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ia juga merasa kesepian karena tidak punya teman untuk sekadar bermain bola, layang-layang, petak umpet, dan permainan lain yang  biasa ia mainkan bersama teman-temannya dulu di lapangan.

Rezi menatap deretan rumah yang jaraknya berjauhan. Tetangganya di sini sangat tertutup. Tidak ada ibu-ibu rumpi, bapak-bapak kerja bakti, atau anak-anak bermain. Semuanya terasa sepi. Ia tidak tahu aktivitas seperti apa yang mereka lakukan di dalam rumah sehingga tidak membaur dengan yang lain. Benar-benar individualis, kecuali rumah di seberang tempat tinggal Rezi yang jaraknya pun lumayan jauh, sekitar 50 langkah. Ia tahu aktivitas penghuni rumah itu karena selalu terlihat. Akan tetapi, kegiatan tetangga seberang rumahnya itu benar-benar monoton.

Seorang wanita paruh baya yang selalu duduk di balik bingkai jendela. Jendelanya reyot pula. Terkadang ia bersama kucingnya, mengelus-ngelus hewan kesayangan nabi yang tertidur di tepi jendela. Terkadang pula ia melihat wanita paruh baya itu mengapit sebatang rokok pada jari-jarinya dan membiarkan asap meliuk di paru-paru kotornya. Terlihat tidak cocok rokok itu digunakan untuk wanita berumur yang rambutnya sudah memutih. Rezi selalu penasaran, apa wanita paruh baya itu hanya mendedikasikan hidupnya untuk kucing dan rokok? Karena setiap harinya yang ia lihat hanyalah pemandangan seperti itu. Sampai ia merasa tatapan wanita paruh baya itu selalu mengawasi kehidupan Rezi karena terlalu  seringnya wanita paruh baya itu berada di balik jendela reyot yang berhadapan langsung dengan rumahnya.

Namun, ada yang berbeda sore ini. Wanita paruh baya itu tidak nampak di balik jendela reyot khasnya. Hanya ada kucing anggora di teras rumah. Penasaran, Rezi mencoba untuk mendekati rumah itu. Setiap langkahnya menciptakan debaran dalam dadanya. Ia tidak tahu, tetapi ia merasa takut. Sunyi senyap lingkup hutan ini sangat mendukung. Terlebih wanita paruh baya di seberang rumahnya terlalu misterius. Seringkali Rezi secara tidak sengaja bersitatap dengan wanita paruh baya itu. Namun, tidak ada perubahan mimik wajah. Tersenyum pun tidak. Wajahnya selalu datar, hidupnya monoton, dan membosankan, tetapi sungguh, ia memiliki tatapan datar yang selalu membuat Rezi ngeri. Seolah dinginnya mampu menusuk balik kulit Rezi.

“Miaw, miaw.” seekor kucing itu mendekati Rezi dengan meliuk-liuk di kakinya yang memakai celana panjang. Tanpa sadar, Rezi tersenyum. Ia menunduk, membawa kucing itu untuk beranjak ke gendongan dan memeluknya. Kucing itu benar-benar cantik dan terawat sekali, bulunya selembut kain sutera yang tidak pernah Rezi pegang sebelumnya. Entahlah, Rezi hanya ingin sedikit hiperbola karena kucing ini benar-benar memesona!

Krieeet ….

“Haru,”

Rezi terkejut. Pintu itu terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh baya yang selama ini ia lihat dari jarak jauh. Penampilannya luar biasa berbeda dan membuat Rezi tertegun. Wanita paruh baya itu hanya memiliki satu kaki dan tongkat kayu sebagai penumpu. Wajahnya memiliki bekas jahitan di area dagu dan pipi. Rambut putihnya ternyata tidaklah menyeluruh, masih ada warna kecokelatan di helai-helai poni. Dan tatapan mata yang selama ini membuat Rezi takut, ternyata tetap menghadap lurus dengan kekosongan. Wanita paruh baya itu ternyata buta.

“Haru … Kamu di mana?”

“Miaw!” kucing yang berada di pelukan Rezi tiba-tiba saja langsung melompat turun dan mendekati tuannya. Haru–dugaan Rezi sebagai nama kucing itu–, terus mengeong-ngeong, seolah memberi tahu bahwa ada tamu di rumah mereka.

“Halo … Bu,” sapa Rezi kaku. Ia sebenarnya ragu untuk menciptakan obrolan. Namun, ia putuskan untuk demikian dibandingkan Rezi yang dianggap maling kemudian terjadi keributan. Oh, ya, benar. Pikiran Rezi terlalu jauh.

“Siapa, ya?” tanyanya dengan pandangan mata yang masih sama lurusnya. “Saya Rezi. Penghuni di seberang rumah Ibu.”

Wanita paruh baya itu menggerakkan bibirnya, seperti ingin membentuk senyuman, tetapi terlihat datar karena jahitan

pada dagu dan pipinya. Rezi memaklumi. Ia justru jadi iba dan merasa sangat bersalah karena sebelumnya menganggap wanita paruh baya itu memiliki tatapan menyeramkan karena selalu menatap lurus dan kosong, serta wajah datarnya yang menyiratkan kejudesan, tetapi sebenarnya terbentuk karena beberapa operasi pada dagu dan pipinya.

“Ayo, mampir, Nak. Ibu tadi membuat sup,” pintu yang diraba oleh wanita paruh baya itu didorong hingga terbuka lebar. Dengan langkah sedikit ragu, Rezi mengiyakan ajakan itu karena tidak enak jika menolak. Lagipula, wanita paruh baya ini sendirian di rumah dan pasti ia selalu merasakan kesepian.

Berbeda dengan suasana rumah Rezi yang setiap hari selalu ramai oleh tingkahnya dan adiknya.

Rezi mengamati isi dalam rumah itu. Bangunan dari kayu yang terdapat beberapa pigura tergantung. Pigura yang menampilkan foto tuan rumah alias wanita paruh baya bersama dengan seorang pria seumurannya dan seorang anak laki-laki. Begitulah Rezi tebak sebagai foto keluarga.

“Maaf, ya, kalau rumahnya berantakan,”

Rezi menggeleng spontan. Tidak. Rumah ini sangat rapi untuk ditinggali oleh orang buta dan memiliki keterbatasan fisik. Ia hanya tersenyum kikuk sebagai tanggapan, lupa bahwa senyumnya tidak bisa dilihat oleh lawan bicaranya. 

Rezi kembali mengamati. Rumah ini sangat otentik dengan pernak-perniknya.

“Biar kubantu, Bu,” ucap Rezi saat mengikuti masuk ke dapur. Panci sudah tersedia di atas meja makan. Rezi pun tinggal menuangkan sup ke dua mangkuk yang telah ia ambil. Wanita paruh baya itu duduk. Wajahnya datar dan Rezi langsung menebak bahwa wanita itu sedang tersenyum karena senang kedatangan tamu.

“Ibu tebak, banyak pertanyaan yang bersarang di kepalamu sekarang,” ucapnya saat Rezi menyodorkan mangkuk.

Rezi menatapnya tidak percaya. Benar. Wanita paruh baya di hadapannya sangat peka.

“Pertanyaanmu pasti berkisar bagaimana Ibu yang memiliki keterbatasan mata buta, tidak memiliki satu kaki, tetapi bisa memasak sup hangat yang rasanya tidak kalah enak dengan restoran bintang sepuluh. Ya, bintang sepuluh. Kamu bisa berkomentar setelah mencicipinya. Kamu tidak perlu mengasihaniku, Rezi. Aku sudah ditakdirkan untuk hidup nyaman seperti ini.”

Mata Rezi berkaca-kaca. Hatinya terenyuh melihat semangat hidup wanita di hadapannya. Rezi mengangguk sekilas, mencicipi sup yang ternyata rasanya benar-benar enak.

“Ibu hebat! Aku tidak pernah memakan sup seenak ini! Bundaku sendiri, tidak begitu pandai memasak.” Rezi terkesima dengan rasanya. Ia memuji dengan ketulusan.

“Dulu, pekerjaan Ibu adalah juru masak di restoran hotel ternama. Sayangnya, terjadi kecelakaan yang membuat kondisi fisik Ibu jadi seperti ini dengan Tuhan yang lebih menyayangi suami Ibu. Ya, Bapak telah berpulang.”

Rezi menatap mata buta itu yang kini berlinangan air mata. Perasaan sedih berhasil sampai ke hatinya. Rezi tercekat akan keadaan memilukan yang dialami oleh wanita di depannya. “Aku yakin Ibu merupakan orang terpilih. Tuhan memilih Ibu untuk mendapatkan cobaan demikian. Makin kuat Ibu menjalaninya, makin besar pintu surga terbuka dan akan banyak bidadari menyambut di pintu surga!”

Rezi mengangguk. “Apakah boleh aku mengajak Rizka ke sini nanti malam? Ya, malam karena Rizka tidak bisa terkena sinar matahari.”

“Tentu saja. Kenalkan ia pada Haru.”

Rezi mengangguk, kemudian teringat sesuatu. “Namun, maaf apabila menyinggung.” Rezi mengulum bibirnya, ragu untuk mengutarakan perkataannya. “Aku beberapa kali melihat Ibu merokok di balik jendela, apakah Ibu berkenan untuk tidak merokok saat Rizka datang kemari? Adikku memiliki asma.”

Wanita paruh baya itu meneguk segelas air. Ujung bibirnya berkedut seolah mencipta senyum. “Tentu saja. Ibu hanya merokok ketika merasa sepi, sendirian, dan merindukan kehadiran Kamal, anak Ibu. Ia memutuskan pergi dari rumah sejak satu tahun lalu, entah ke mana. Ibu sangat merindukannya. Dengan merokok, Ibu harap kepulan asap akan sampai padanya, membisikkan Kamal untuk pulang.”

Rezi tertegun. Ia tidak dapat menahan tangisnya yang sedari tadi ia tahan sejak mengenal wanita paruh baya seberang rumahnya. Kehidupannya begitu pelik. Rezi iba. Satu sisi Rezi menyesal telah menganggap wanita itu memiliki hidup yang membosankan dan monoton, sedangkan kehidupan aslinya sangatlah rumit. Bahkan ia menjadikan rokok sebagai alternatif yang Rezi rasa tidak mampu membuat anaknya kembali. Karena pada nyatanya, asap rokok akan melebur bersama udara dan menghilang tanpa jejak.

Rezi turun dari kursinya, mendekati wanita paruh baya itu dan memeluknya. “Aku akan setiap hari berkunjung agar Ibu tidak akan kesepian lagi.”

Setelah bercengkrama yang mampu membuka pandangan Rezi lebih luas tentang wanita paruh baya itu, Rezi pamit pulang. Sesampainya di rumah, ia meminta maaf pada Rizka atas perbuatannya yang menyebalkan siang tadi, ia juga menangis dan memeluk Bunda, berjanji tidak akan pernah meninggalkan Bunda dan keluarga mereka. Rezi berjanji, ia akan menjadi anak yang baik.

Rezi menikmati setiap detik yang ia rasakan bersama keluarganya. Di meja makan malam ini, ia bercerita tentang wanita paruh baya seberang rumah mereka. Rizka mendengarkan dengan antusias, terlebih ia diajak untuk berkunjung ke rumahnya. Ayah dan Bunda mengernyit. Raut wajahnya berubah tidak enak.

“Ada apa, Bunda? Ayah?”

“Apakah wanita paruh baya yang kamu maksud adalah yang suka merokok di balik bingkai jendelanya itu, Rezi?” tanya Bunda dengan suaranya yang terdengar khawatir. Rezi mengangguk.

“Iya, Bunda. Dia adalah orang yang baik! Apakah Bunda mengenalnya?”

“Ia telah berpulang sore tadi, Rezi. Sepertinya serangan jantung.” ucap Ayah yang seolah menghantarkan petir pada pendengaran Rezi. “Ayah dan tetangga lain akan mengurus jenazahnya. Ia benar-benar hidup sebatang kara. Tidak ada sanak keluarganya yang datang.”

“TIDAK MUNGKIN!” Rezi berteriak. Menangis. Setelah makan malam itu, suasana berubah menjadi menyedihkan. Berita itu benar adanya. Wanita paruh baya seberang rumah, telah berpulang. Tetangga yang sebelumnya jarang Rezi lihat aktivitasnya, saat ini muncul dan berdatangan ke rumah yang Rezi kunjungi siang tadi. Haru mengeong-ngeong di samping jenazah yang tertutup kain. Rezi menangis, tahlil menggaung di udara.

Ini terlalu cepat. Rezi baru saja mengenal wanita paruh baya itu. Namun, ia harus merasakan kehilangan seolah Rezi telah mengenalnya seumur hidup. Bunda memeluk Rezi yang terus menangis seraya membaca doa. Hanya Rezi yang menangis. Dan mungkin Haru.

Sungguh menyedihkan, sampai kematiannya pun, asap rokok yang wanita paruh baya itu hisap selama satu tahun terakhir, tidak berhasil memanggil Kamal untuk pulang.

Rezi membawa Haru. Memeluk seraya mengelusnya. Perasaan sedih mereka saling terhubung sehingga dapat sedikit menyalurkan spirit satu sama lain.

“Ibu telah menemukan tempat baiknya di surga, Haru. Bidadari akan menyambutnya di pintu megah surga.” ucap Rezi dalam kesedihannya. “Aku akan merawatmu.”

Rezi kembali terisak. Tidak lama, ia meminta Bunda untuk mengantarkannya ke kamar mandi rumah itu. Rezi ingin mencuci muka dan berhenti menangis. Namun, sesampainya ia di dapur, dua mangkuk bekas mereka makan siang masih ada di meja makan. Pancinya pun masih tersisa sup walaupun sudah dingin. Melihat itu semua, Rezi kembali menangis. Memeluk Bunda. Mengurungkan niat untuk mencuci muka. Meminta pulang.

Ia pun berjalan keluar bersama Bunda seraya menggendong Haru. Meninggalkan rumah wanita paruh baya yang sekarang dihadiri kurang lebihnya 20 orang, mengingat tidak banyak rumah di sekitar mereka. Saat ini, Rezi hanya ingin pulang dan menangis puas di kamar. Ah, ya, tidak lupa juga untuk mengenalkan Haru pada Rizka yang saat ini menetap di rumah.

Sampai tiba-tiba, sorot lampu menyinari jalanan. Mobil sedan hitam berhenti di depan pekarangan rumah, menampilkan sosok pria yang keluar dari mobil. Pria itu berlari ke arah rumah yang di dalamnya terbaring jenazah, melewati Rezi dengan tergesa, kemudian berteriak,

“Ibu!”

Rupanya, asap rokok wanita paruh baya selama satu tahun itu telah sampai. Kamal, akhirnya pulang.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.