Skip to content

Gogon (oleh Naimatus Salsabila Kausari, Basindo 20)

  • by

 

Minggu pagi. Seisi pasar heboh. Bukan karena harga sembako naik. Bukan juga karena harga daging yang melambung tinggi bersamaan dengan melambungnya janji pemerintah untuk segera menurunkannya. Tapi, yang membuat pasar kecil di sebuah kecamatan itu heboh adalah Gogon. Ya… karena Gogon! Pagi itu, Gogon tidak nampak batang hidungnya. Padahal, biasanya ia selalu berdiri di pintu gerbang pasar dengan gitar tuanya, mengenakan seragam kebesaran, kaos singlet hitam bergambar tengkorak. Selalu bergambar tengkorak.  

Tidak terdengar makian-makiannya pada tukang becak yang selalu menerobos ke tengah pasar sehingga menghalangi jalannya. Tidak terdengar gerutuan karena sepatunya menginjak lumpur amis di depan kios ikan Yu Gimah. Tidak terdengar teriakan pada Kang Jupri kala memesan secangkir  kopi dan selalu ditutup dengan kata, “…ngutang dulu, Kang!”. Tidak terdengar sindirannya, ”awas, gerombolan serigala berbulu domba datang!” menyambut kedatangan para rentenir yang mulai beraksi. Berkeliaran menawarkan hutang, menjerat leher pedagang kecil dalam hutang, sehingga mereka tetap menjadi kecil. Selamanya. 

Tidak terdengar pula bentakan pada pengamen lain yang ketahuan mendahului masuk pasar, karena dialah yang harus dapat giliran pertama. Setelah itu, dengan gitar yang dawainya tinggal dua itu ia berkeliling pasar. Kios demi kios disinggahi. Membawakan lagu Los Dol-nya Denny Caknan dengan suara keras nan sumbang dan melodi yang datar nan hambar. Meskipun matanya terpejam berusaha meresapi syairnya tetap saja bukan getaran syahdu yang didapatkan. He… he… lebih menyerupai aba-aba pemimpin upacara, diselingi ludah yang muncrat kemana-mana. Ditambah sedikit pelototan mata, dijamin para pedagang pasar pasti segera memberi recehan agar ia segera berlalu secepatnya.

Selesai mengamen, ritual berikutnya bergabung dengan dua teman gambler-nya, Komar dan Teyeng. Ada saja model-model judi mereka. Mulai dari yang konvensional, seperti domino dan remi. Kalau lagi bosan, apa saja bisa digunakan untuk berjudi. Mulai dari pingsut, hom pim pah, batu-gunting-kertas, bahkan nomor mobil ganjil atau genap bisa dijudikan. Yang penting judi. Melambungkan harapan dan keberuntungan baru yang mungkin bisa dimenangkan. 

 “Tumben, Gogon nggak lewat. Biasanya kan si Gogon selalu yang pertama mencicipi getuk manisku sebelum pembeli pertama datang,” bisik-bisik Salamah yang tengah sibuk memarut kelapa. Wati penjual oncom di sebelahnya tersenyum. 

 “Beruntung Gogon nggak pernah mengganggu oncomku, tuh,”

“Ya… iyalah, siapa juga yang doyan oncom mentah doang!” 

Keduanya tertawa tetapi segera menutup mulut dengan tangannya. Khawatir, jangan-jangan si Gogon lewat dan tiba-tiba berdiri depannya.

Di deretan kios baju terjadi obrolan yang hampir sama.

“Lihat Gogon nggak, Kang?” tanya Bah Acong penjual baju pada Kang Jupri yang sedang mengantar kopi pesanannya. 

Nggak, Bah. Soalnya dari tadi dia juga belum pesan… eh, ngutang kopi ke saya, he… he…”  

Hadeh, saya juga pernah dikadalin Gogon, Kang. Dulu dia pernah membeli celana pada saya, tetapi setelah dipakai sehari dikembalikan,” Kang Jupri menggeleng-geleng kepala geli dengan kelakuan Gogon, tetapi tetap memasang muka kasihan pada Bah Aceng yang jelas dirugikan.

“Alasannya katanya warna dan mereknya persis dengan celana kepala pasar yang baru itu, Pak Waluyo,” kata Bah Aceng sambil merapikan tumpukan dagangan baju dan celana. Gogon sangat membenci Pak Waluyo yang dianggapnya sok kuasa, sok ngatur-ngatur.

Kang Jupri bergegas ke kios kopinya, takut yang dibicarakan lewat. Ia hanya pedagang kecil. Tidak berani bersinggungan dengan siapapun. Selama masih bisa berdagang, dengan keuntungan sekecil apapun ia sudah merasa bersyukur. Yang penting masih ada sesuap nasi untuk anak dan istri. Sekadar menyambung umur yang pasti makin uzur, agar kedua kaki yang menyangga nasibnya tidak tercebur ke lembah kemiskinan semua. 

Ketika jam sebelas, Gogon belum muncul juga. Para pengamen resah. Mereka bergerombol di sekitar gerbang pasar menunggu giliran ngamen. Jika mereka berani mendahului Gogon, pasti hasilnya dirampas. Karena Gogon belum juga muncul, sebagian segera bergiliran masuk pasar mulai beraksi, keburu pasar menjadi sepi. Sebagian lagi pergi sambil mengumpat, karena jelas rezeki hari ini telah lewat.

Menit demi menit berlalu. Jam demi jam berganti. Hingga jam dua Gogon tidak muncul juga. Pasar mulai lengang. Pakdhe Poyo, pemilik kios bakso di sudut utara pasar selalu tutup terakhir. Sebelum tutup biasanya Gogon datang memesan bakso super komplit. Maksudnya dengan tambahan beberapa potong tulang gratis. Tulang yang biasanya direbus bersama kuah agar menjadi sedap  dengan aroma daging sapi yang kuat. Asyik sekali Gogon menggerogoti tulang-tulang dengan sedikit daging yang masih tertinggal.

Ia selalu duduk di dekat jendela. Setelah puas, tulangnya langsung dibuang lewat jendela, menumpuk dan berserakan di dekat gundukan sarang rayap, di samping  selokan, menjadi santapan para setan penghuni pasar. Karena Gogon tidak muncul juga, Pakdhe Poyo membawa pulang tulang-tulang itu ke rumah. Ia tahu anaknya yang paling besar juga menyukainya. Pasar akhirnya benar-benar lengang. Di mana Gogon gerangan?

Seisi pasar tahu, Gogon punya kebiasaan tahunan absen di dua kesempatan. Pertama, kalau tanggal 17 Agustus. Bukan karena jadi peserta upacara bendera di kecamatan. Apalagi jadi tamu istimewa dan duduk di bawah tenda kehormatan. Tapi, sehari sebelumnya ia selalu mengedarkan stiker peringatan hari kemerdekaan. Entah dari mana dia mendapatkannya. Yang pasti ia selalu menjualnya cukup mahal. Mungkin dari keuntungannya itu, ia merasa perlu cuti sehari dan memberi kemerdekaan pada penghuni  pasar dari gema  lagu-lagu sumbang  dan teriakan- teriakan kasarnya.

Kedua, dua hari pascalebaran. Bukan karena ia mudik. Sehari sebelum lebaran, ia selalu ngamen dengan lagu rohani spesial. Lagu “Ramadan Tiba”. Masih dengan suara keras nan sumbang, masih dengan ludah yang muncrat ke mana-mana. Masih dengan pelototan mata. Ia selalu minta dua kali lipat dari tarif ngamen biasa. Katanya untuk pesangon hari raya. Mungkin karena uangnya masih cukup maka pada dua hari setelah lebaran, makanya ia tak muncul ke pasar. 

Di hari ketiga setelah lebaran, para pedagang selalu berharap Gogon memperpanjang cutinya. Atau ia segera mendapat hidayah dan bertobat mengubah perilakunya. Tetapi, di hari ke tiga setelah lebaran, hmm… ia pasti muncul juga. Pagi-pagi sudah berdiri di pintu gerbang. Dengan kaos hitam barunya, tetapi tetap bergambar tengkorak juga. Setelah itu terdengar suara sumbangnya, teriakan, dan makiannya. Seperti biasa.

***

Keesokan harinya, hari senin… pasar lebih heboh lagi. Ternyata… kemarin Gogon tidak muncul di pasar karena malam sebelumnya ia ditangkap polisi. Kabar yang beredar Gogon akan membakar pasar. Paling tidak itu berita yang muncul di koran pagi. Dengan gambar Gogon duduk, muka tertunduk di hadapan seorang polisi. Tangan terborgol, sedang menghadapi interogasi. 

“Tak tahu diri. Dari kecil dia kan cari makan di pasar ini!” Salamah memarut kelapa untuk getuk manisnya sambil bersungut-sungut.

  “Kualat itu namanya!” Wati mengiris oncom sambil menggerutu juga.

“Syukurlah kalau ditangkap polisi. Sekarang tidak ada yang makan getuk gratis setiap pagi. Yess!” Salamah menimpali. Keduanya tertawa, tetapi segera menutup mulut dengan tangannya. Takut Gogon sudah dilepas dan tiba-tiba berdiri di depan mereka.

Di deretan kios pakaian juga terjadi obrolan yang sama.

“Kalau Gogon ditahan, siapa yang akan membayar hutang dua kaosnya. Rugi saya,” Bah Aceng merapikan baju dan celana dagangannya. 

Kang Jupri yang mengantar kopi ikut menambahi, “Saya sih ikhlas saja Bah, entah berapa cangkir kopi yang tidak dibayar. Percuma dipikirin terus, tapi tidak terbayar juga.”          

Setelah itu Kang Jupri berlalu. Berbaur dengan hiruk pikuk di pasar itu.  

Semua berlalu seperti biasa. Becak masih seenaknya masuk sampai ke tengah pasar hingga lorong-lorong pasar berjubel dalam kemacetan. Deretan parkir yang memakan setengah jalan membuat angkutan terseok-seok menerobos di tengah kemacetan. Yu Gimah masih seenaknya membuang air bekas cucian ikan di depan kiosnya, hingga bau amis menyengat siapapun juga yang melewatinya. Sekaligus menjadi penanda, di situlah deretan kios-kios penjual ikan berada. 

Para pengamen senang bukan kepalang. Mulai hari itu mereka tidak usah menunggu giliran karena Gogon sekarang meringkuk dalam tahanan. Para rentenir tak lagi gemas dengan sindiran-sindiran Gogon yang membuat telinga panas. Mungkin aksi mereka berikutnya akan semakin ganas. Menguras keuntungan pedagang kecil sebagai tambang emas.

Masih jam sebelas, Pakdhe Poyo menutup kios baksonya. Tidak seperti biasa yang selalu tutup di atas jam dua. Dibungkusnya bakso super komplit. Lengkap dengan beberapa potong tulang dengan sedikit daging yang masih menempel di sana-sini. Ditanya Yu Gimah mau kemana, ia memilih bungkam. Ketika ditanya Bah Aceng dengan pertanyaan yang sama seperti Yu Gimah, ia tetap diam. Motor bututnya dipacu menembus siang yang terik dan jalan yang berdebu. Ia sempat mampir sebentar di sebuah kios penjual es degan. Sehabis itu ia segera melaju, penuh konsentrasi. Dan tujuan akhirnya adalah kantor polisi. Oo…

***

Gogon makan bakso dengan lahapnya. Tulang sapi dengan sedikit daging disana-sini dengan rakus digerogoti. Sesekali sumsum tulang dihisap dengan ekspresi sejuta nikmat. Rasa asam manis berbaur saos super pedas mengalihkan perhatiannya pada sebungkus es degan rasa gula jawa. Amboi… nikmatnya. Muka Gogon langsung memerah penuh gairah. Keringat diseka dengan kaos baru berwarna oranye menyolok mata dengan tulisan besar dengan kata “TAHANAN” berwarna hitam di punggung. Kaos kebesaran baru, kaos tahanan.

“Dua hari yang paling terasa menyiksa bukan dinginnya kamar tahanan,” Gogon mengawali pembicaraan karena dari tadi Pakdhe Poyo hanya diam memperhatikan.

“Bukan pula nyamuk yang banyaknya bukan alang kepalang,” Gogon menyendok kuah bakso terakhir. Pakdhe Poyo tetap diam terpaku.

  “Apalagi pada sesama tahanan yang cuma penjahat kelas recehan,” Gogon menyedot habis es degan dan ditutup dengan sendawa yang keras. Seperti biasa ketika makan bakso di pasar.

 “Lalu, apa yang menyiksamu. Apa interograsi yang kasar?” Pakdhe Poyo bertanya setengah berbisik. Takut suaranya terdengar penjaga.

“Bukan… bukan itu, Pakdhe. Tapi… tapi karena tidak bisa menikmati bakso di kios Pakdhe Poyo,” kali ini Gogon menjawab dengan terbata-bata. Muka setengah tertunduk dan mata yang sembab membendung tumpahan air mata.

Justru air mata Pakdhe Poyo tumpah duluan. Dipeluknya Gogon erat-erat. Gogon selama ini dianggap seperti anaknya sendiri. Dibuatkan ia bakso selezat ketika membuatkan bakso untuk anak sendiri. Melalui bakso, suasana batinnya terhubung dengan batin Gogon. Gogon yang selalu merasa nyaman berada di kios baksonya. Yang selalu lahap menghabiskan bakso sambil jegang kakinya. Serasa makan di rumah sendiri. Tak peduli, ia membayar atau tidak, uangnya kurang atau ngutang, Pakdhe Poyo tak peduli. 

Mungkin Pakdhe Poyo satu-satunya pedagang pasar yang tak pernah menggunjing perilaku Gogon. Dalam hatinya hanya ada doa karena ia melihat ada sesuatu yang berbeda dari Gogon. Ya… sesuatu yang tidak mungkin bisa terlihat oleh mereka yang selalu menggunakan sorot mata  nyinyir dan muak pada kekasaran Gogon yang memang kasat mata.  

Gogon pemilik identitas kasar nan beringas. Mulut suka nyerocos tangan main jotos. Kalau membeli barang hanya ada tiga peluang, uangnya kurang, ngutang, dan berujung ngemplang.  Maka entah siapa yang memulainya, panggilan “Gogon” serasa pas disandangkan padanya.

“Kamu bener mau membakar pasar?” 

Tampak Pakdhe Poyo berhati-hati sambil memperhatikan Gogon bereaksi.

“Hampir, tapi yang akan kubakar sebenarnya hanya ruang kepala pasar,” jawab Gogon dengan enteng. Pakdhe Poyo gundah. Ada gurat kekecewaan.

“Siang itu aku dipanggil kepala pasar sok kuasa itu. Aku dimaki-makinya. Katanya biang onar lah, pecundang lah, dan benalu bagi para pedagang!” 

Wajah Gogon menegang, menahan dendam yang mendalam. Gogon pun melanjutkan ceritanya. 

Ternyata, pada malam Minggu itu ia membawa dua liter bensin guna membakar ruang kepala pasar. Ketika bensin baru sedikit disiramkan,  patroli polisi lewat. Polisi curiga, Gogon pun segera menyelinap pergi, bersembunyi di belakang kios bakso Pakdhe Poyo. Ia hafal betul tempat itu. Terdapat gundukan tanah sarang rayap tempat Pakdhe Poyo sering membuang tulang sisa bakso.

“Aku mengendap di gundukan tanah itu. Para polisi sibuk mencari dan hampir putus asa. Tapi para setan penghuni gundukan kayaknya nggak terima. Mereka menyamar menjadi semut dan menyelusup ke celana dan baju. Gigitannya sangat panas dan gatal. Aku nggak tahan dan berusaha menghalau siluman-siluman semut sial itu. Sialnya lagi kakiku malah terpeleset dan tercebur ke selokan. Ketika akan naik, dua polisi itu sudah berdiri di depanku.” 

Jika itu bukan kisah nyata, pasti Pakdhe Poyo tertawa. Pada sepenggal komedi dalam kisah tragedi. Gogon, gundukan tanah sarang setan, selokan, sisa tulang, dan tertangkap polisi. Sungguh tak ada bagian indahnya.

“Oh iya, Pakdhe. Aku nggak tahu akhir kasus ini seperti apa. Tolong Pakdhe Poyo mengambil gitarku yang mungkin masih ada di selokan itu. Pecahkan dan tunjukkan isinya pada kepala pasar yang sok kuasa itu. Satu lagi, Pakdhe Poyo nggak usah membuang tulang dekat gundukan tanah itu. Para setan penghuninya sungguh tak tahu diuntung.” 

Setelah memberikan wasiatnya iu, Gogon berlalu ke sel. 

Pakdhe Poyo lebih cepat berlalu. Motor tuanya melaju menembus jalanan yang panas berdebu. Masuk ke dalam pasar dengan tergesa. Ditanya Bah Aceng, memilih diam. Ditanya Yu Gimah juga sama, bungkam. Setelah sampai ke tempat yang ditujunya, benar saja, gitar Gogon masih mengambang tersangkut tumpukan sampah yang menjejali selokan. Ada tas kresek warna hitam di dalamnya ternyata. Tanpa rasa penasaran ingin membukanya, bergegas ia dengan dibawanya tas yang belepotan lumpur ke ruang kepala pasar. Bah Aceng mengernyit menyelidik. Yu Gimah termangu-mangu menahan rasa ingin tahu. 

“Ini titipan dari Gogon.” 

Lumpur busuk membasahi meja Pak Waluyo. Sang kepala pasar itu terlihat jijik ketika membuka bungkusan itu. Ternyata isinya buku tulis. Oh… tidak cuma itu, didalam buku terselip dua lipatan kertas lain. Kertas pertama hanya satu lembar. Ternyata Kartu Keluarga yang berlakunya sudah habis sepuluh tahun yang lalu. Di dalamnya tercantum tiga nama, Mahmudi bin Agus Ahmadi, Siti Muyasaroh binti Jamal, dan yang terakhir ada Muhammad Rifai. Lipatan kertas berikutnya agak tebal. Dari sampulnya jelas, itu sertifikat tanah. Dengan hati-hati Pak Waluyo membukanya. Nama pemiliknya, Agus Ahmadi, luasnya 2700 m². Dan alamatnya? Jalan Kemakmuran No. 8. Tepat di mana ia duduk saat ini. Pak Waluyo kaget, Pakdhe Poyo apalagi.

Apa hubungannya dengan Gogon? 

Satu pertanyaan yang sama berkecamuk di benak mereka berdua.

“Dari mana dia mencurinya?” selidik Pak Waluyo curiga.

“Hush! Ngawur, nggak mungkin!” 

Pakdhe Poyo merasa yakin. Diambilnya buku itu. Dibukanya halaman demi halaman barangkali ada catatan yang bisa memberi penjelasan. Halaman demi halaman dibuka tak ada tulisannya sama sekali. Pakdhe Poyo hampir putus asa, Pak Waluyo yakin Gogon mencurinya. 

Namun, dibalik lembar terakhir, Pakdhe Poyo kaget, Pak Waluyo ikut kaget. Terselip sebuah KTP dengan masa berlaku sudah kedaluwarsa lima tahun yang lalu. Tapi, foto di KTP itu masih jelas. Itu adalah… ya! Itu jelas wajah Gogon! Nama aslinya Muhammad Rifai. Jadi, pemilik lahan pasar ini sebenarnya…”

Pak  Waluyo bergegas pergi. Pakdhe Poyo mengikuti. Ditanya Yu Gimah yang sedang berada di kios Bah Aceng, keduanya kompak menjawab. “Ke kantor polisi!”

Pak Waluyo sibuk berandai-andai. Setelah peristiwa ini ia akan menghadap Pak Camat. Mengusulkan agar Gogon mendapat penghormatan. Kalau perlu setiap tahun diundang dalam acara tujuh belasan karena ia layak duduk di bawah tenda kehormatan.

Sesampai di kantor polisi, penjaga menyodorkan selembar kertas pada mereka berdua. Di kertas kecil itu tertulis, 

Tolong jangan temui saya lagi. Saya ikhlas kok.

Air mata Pak Waluyo tumpah.  Pakdhe Poyo juga,  untuk kedua kalinya.

*** 

Hari-hari berikutnya pasar kembali seperti semula. Hanya Pak Waluyo yang berubah, aura mengayominya lebih terasa. Sementara Pakdhe Poyo sibuk mencari Gogon-Gogon baru untuk dimunajatkan dalam doa. Dan para setan yang ada di gundukan tanah itu, tak ada lagi yang memberikan potongan-potongan tulang untuknya.

 

 

 

 

Catatan:

  • Jegang: duduk dengan salah satu kaki bertekuk dengan posisi lutut terarah ke atas (biasanya untuk menopang lengan).
  • Ngemplang: menempeleng.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.