Skip to content

Mengapa Mahasiswa Sastra (Tidak) Menulis Sastra? (oleh Fara Ramadanti, Basindo 20)

Apa yang pertama kali terlintas di pikiran ketika mendengar frasa “mahasiswa sastra”? Sosok puitis yang gemar menulis dan meromantisasi segala hal, anak muda kreatif yang rutin mengisi kolom-kolom pada koran serta suatu kanal, atau sekelompok cendekiawan yang kerap membaca berjam-jam hingga anfal? Semuanya kembali pada perspektif masing-masing orang meski pada dasarnya pengertiannya tidak rumit: mahasiswa yang belajar soal struktur kebahasaan dan juga karya sastra. Mereka tidak sekadar dapat ditemui di dalam ruang kelas yang pengap, di tengah ingar bingar pameran buku, atau sudut perpustakaan yang jarang disinggahi orang. Mereka hadir di antara kita semua. Menyimak, mengamati, dan menelaah.

Umumnya, orang awam akan menganggap anak-anak yang suka membaca dan hobi menulis sangat cocok masuk jurusan sastra. Terlebih karena jurusan sastra mengharuskan mahasiswanya untuk gemar baca tulis. Mereka yang bermimpi menjadi penulis diarahkan untuk masuk jurusan sastra dengan harapan nantinya mereka akan menemukan jati diri dan bersinar sesuai dengan minat dan bakat mereka masing-masing. Sayang, hasil akhir (output) tersebut tidak serta-merta sama bagai bayangan yang menyenangkan; seperti menjadi maestro, meraih nobel sastra, mencetak ulang ribuan eksemplar buku, menggelar bedah buku secara rutin, hingga dicintai banyak pembaca. Peluangnya memang ada, tetapi persentasenya tidak banyak.

Setelah benar-benar memasuki dunia perkuliahan, mahasiswa sastra tidak hanya dituntut untuk menyukai baca dan tulis. Mereka diharapkan menjadi sosok yang teliti dan kritis, sebagai modal mengkaji banyak karya sastra dengan beragam teori yang disampaikan dosen selaku pengajar yang akan membimbing arah tafsir karya sastra. Namun, di balik kesibukan mahasiswa sastra dengan agenda mengkaji, tentu ada satu-dua mahasiswa sastra yang merasa kewalahan dengan porsi mata kuliah kebahasaan yang bersifat teoretis (Tata Bahasa, Sintaksis, Fonologi, Morfologi, dan kawan-kawannya dalam rumpun Linguistik).

Tidak bisa dimungkiri, semua mata kuliah pengantar yang wajib diambil itu memang dapat membawa manfaat bagi proses menulis dan memahami bahasa seseorang. Nantinya, dalam menyerap ilmu baru dalam tingkatan yang lebih tinggi (mudahnya, katakan saja jenjang S-2), mata kuliah pengantar tersebut akan membantu kegiatan penelitian. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Berangkat dari hal itu, mata kuliah semiteoretis yang bersifat mengasah kreativitas dan daya pikir mahasiswa perlu ditambah porsinya (tentu termasuk kaidah jurnalistik dan aturan dalam menulis karya sastra).

Lantas, apa yang membuat banyak mahasiswa sastra sendiri tidak menulis (atau setidaknya membaca) sastra? Mereka diharuskan menulis berpuluh-puluh artikel, berpeluh-peluh mengkaji karya sastra dengan teori, dan berpayah-payah menentukan metode penelitian yang seakan tidak ada habisnya, tanpa diberi banyak kesempatan untuk merefleksikan dan merilekskan pikiran dengan menulis sebebas-bebasnya dalam forum yang lebih informal. Sebaliknya, mereka yang ingin fokus menulis memilih untuk mengambil kelas di luar perkuliahan dan bergabung dalam komunitas yang bisa mewadahi mereka dengan aman dan nyaman tanpa tuntutan nilai akhir.

Dibandingkan dengan alumnus-alumnus sastra, alumnus dari jurusan lain justru telah banyak menelurkan sastrawan-sastrawan terkemuka. Eka Kurniawan dan Dea Anugrah yang seorang alumni filsafat, Putu Wijaya yang seorang alumnus hukum, hingga Kuntowijoyo yang seorang alumnus sejarah. Terlepas dari pengetahuan autodidak yang didapat, apakah secara harfiah mereka datang dari jurusan sastra? Mungkin ada Mahfud Ikhwan (kakak kelas kita dari Bahasa dan Sastra Indonesia UGM yang dapat kita banggakan rekam jejaknya), tetapi kembali lagi pada fakta persentase lulusan sastra yang menjadi pengarang tidak sebanyak persentase lulusan sastra yang menjadi peneliti dan tenaga pendidik.

Lah wong anak sastra kok tidak bisa menulis sastra, mungkin itu stigma yang akan disematkan di kedua bahu lulusan sastra yang hingga masa selesai belajar belum juga mahir menulis. Apakah semua itu disebabkan oleh orientasi dari kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia sendiri yang lebih berfokus menghasilkan peneliti yang mengkaji dan pengajar yang menyalurkan ilmu alih-alih ‘seorang pencipta’? Jika ada pendapat yang mengatakan bahwa jurusan sastra memang sejak awal tidak mencetak seorang sastrawan, sekiranya hal itu tidak sepenuhnya benar. Jurusan sastra tentu mencetak seorang sastrawan (lagi-lagi, dengan persentase kecil).

Jam terbang yang berbeda tentu berpengaruh. Mahasiswa sastra yang tidak banyak membaca (utamanya karya sastra Indonesia lama yang kerap kali dibincangkan), tidak memiliki banyak kosakata untuk bekal menulis. Mereka terpaku pada istilah-istilah dalam artikel, makalah, dan jurnal tanpa kemudian mengakrabi permainan diksi dan pentingnya feel dalam menulis karya sastra. Banyak kasus menunjukkan bahwa mahasiswa sastra bahkan tidak familier dengan karya-karya sastra yang perlu mereka jadikan objek kajian. Menulis sastra adalah proses berpikir kompleks yang tidak bisa dirampungkan dalam sehari-dua hari bahkan seminggu, apalagi sekali duduk.

Mempelajari intisari dari kebahasaan memang penting. Pengetahuan soal sejarah dan asal muasal perbendaharaan kata juga penting. Semua ilmu sama pentingnya dan dapat berfungsi dalam berbagai situasi dalam kehidupan. Sama halnya dengan menulis karya sastra yang sama pentingnya. Nah, sebagai mahasiswa sastra, kita tentu akan bangga apabila kelak alumninya mengemban beragam profesi (dan tidak melulu homogen). Mulai dari ahli bahasa, peneliti, dosen, penerjemah, jurnalis, dan tentunya yang paling keren… sastrawan!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.