Kecantikan yang ideal adalah mitos. Simbol-simbol kecantikan yang berubah dari waktu ke waktu merupakan proses rekonstruksi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan di dalamnya. Berbagai upaya yang dikerahkan untuk membentuk pasar sampai menggiring minat pasar untuk mengikuti tren yang para korporasi ciptakan sendiri.
Beauty ideals control, restrict, and discipline women’s bodies, desires, and social realities. – Meeta Rhani Jhaa
Pasar yang dimaksud ialah masyarakat kalangan kelas menengah dengan tingkat ekonomi menengah dan melek kebutuhan sekunder-tersier, seperti hiburan, wisata, kualitas kesehatan dan kualitas pendidikan. Dalam usaha menggiring minat pasar, mereka menggunakan berbagai media seperti ajang kecantikan, iklan, produk kecantikan dan praktik klinik kecantikan yang semakin menjamur di berbagai kota.
Media menjadi jembatan bagi pihak yang memiliki kepentingan untuk menggiring masyarakat agar percaya dan mengimani kecantikan ideal yang mereka sebarkan sehingga kaum wanita rela berkompetisi satu sama lain untuk menjadi perempuan tercantik. Pihak yang memanfaatkan media umumnya adalah industri kecantikan global yang tengah memasarkan produknya. Kebiasaan-kebiasaan ini juga didukung dengan adanya konsumsi tontonan iklan yang menggiring untuk mencapai standar tersebut seperti iklan lotion pemutih kulit, produk shampo penghilang ketombe, rambut panjang yang lembut anti kusut, hingga produk pemutih ketiak. Adanya iklan kecantikan mengajak wanita untuk berpikiran negatif akan dirinya yang tidak terlahir sempurna dan dipaksa mengejar kesempurnaan yang diiklankan — padahal kesempurnaan tersebut adalah hal yang tidak nyata.
Seakan tidak terelakkan, perempuan telah terbiasa dengan ‘kecantikan ideal’ sejak kecil. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita rakyat yang kerap menyebutkan sejumlah standar kecantikan semu, seperti Dayang Sumbi yang kecantikannya awet muda atau Roro Jonggrang yang menjadi rebutan laki-laki.
Tidak cukup sampai di sana, era digital saat ini yang menjadikan media sosial sebagai standar kehidupan memupuk keberadaan akun validasi diri. Akun-akun Instagram yang umumnya berformat @(nama kampus)_cantik akan mempublikasi foto perempuan dengan standar cantik yang kurang lebih serupa: berkulit putih bersih, bertubuh langsing, bibir mungil, dan lain sebagainya. Postingan tersebut semakin menggiring opini bahwa hanya bentuk-bentuk semacam itulah yang tergolong cantik dan memunculkan kesan bahwa perempuan belum bisa disebut cantik jika foto dirinya tidak dipublikasi akun sejenis. Betapa ironis dan sangat disayangkan, kalangan mahasiswa alih-alih bersikap intelek malah oversimplified mindset tentang kecantikan perempuan.
Ajang kontes kecantikan adalah variasi media lain dari upaya menggiring masyarakat untuk membentuk arti kecantikan. Setelah melihat para pesertanya, para pemirsa dengan mudah menyimpulkan arti mutlak kecantikan: tinggi semampai, badan ramping, hidung mancung, kulit bersih. Munculnya berbagai praktik klinik kecantikan yang menawarkan pelayanan operasi plastik dan perawatan tubuh pun mengindikasikan bahwa upaya mengubah fisik menjadi semirip mungkin dengan standar kecantikan pada umumnya begitu laris manis bagi kalangan masyarakat.
Sebuah pertanyaan mendasar muncul: mengapa kebanyakan kaum wanita hanyut dalam imaji standar kecantikan yang semu? Konstruksi sosial yang berperan besar harus bertanggung jawab. Selain itu, sistem patriarki memaksa perempuan untuk menyenangkan dan memanjakan laki-laki secara visual. Secara tidak langsung, standar kecantikan perempuan merupakan manifestasi imaji laki-laki terhadap perempuan. Patriarki membawa nilai laki-laki memiliki posisi lebih tinggi dari perempuan, membuat perempuan harus melayani visual kaum laki-laki.
Sistem sosial yang memberikan hak istimewa lebih banyak kepada perempuan cantik menjadi motivasi untuk mengejar standar kecantikan sesuai selera masyarakat. Contoh nyatanya, banyak beredar lowongan pekerjaan dalam posisi tertentu dan menuliskan kriteria ‘berpenampilan menarik’ pada salah satu syarat pelamar pekerjaan tersebut.
Kemudian, berbagai pertanyaan muncul, sudah tepatkah perempuan dalam mendefinisikan kecantikan? sebenarnya mengapa dan untuk siapa para perempuan ini berusaha cantik? Dengan berbagai upaya perempuan berlomba-lomba mengejar standar kecantikan yang semu tersebut, siapakah yang akan menang, kaum perempuan dengan kecantikannya, atau kapitalis dengan pundi-pundi serakahnya?