Uncategorized

Otak-Atik Mitos Standar Cantik (oleh Dwi Fury, Basindo 20)

Kecantikan yang ideal adalah mitos. Simbol-simbol kecantikan yang berubah dari waktu ke waktu merupakan proses rekonstruksi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan di dalamnya. Berbagai upaya yang dikerahkan untuk membentuk pasar sampai menggiring minat pasar untuk mengikuti tren yang para korporasi ciptakan sendiri.

Beauty ideals control, restrict, and discipline women’s bodies, desires, and social realities. – Meeta Rhani Jhaa

Pasar yang dimaksud ialah masyarakat  kalangan kelas menengah dengan tingkat ekonomi menengah dan melek kebutuhan sekunder-tersier, seperti hiburan, wisata, kualitas kesehatan dan kualitas pendidikan. Dalam usaha menggiring minat pasar, mereka menggunakan berbagai media seperti ajang kecantikan, iklan, produk kecantikan dan praktik klinik kecantikan yang semakin menjamur di berbagai kota. read more

Otak-Atik Mitos Standar Cantik (oleh Dwi Fury, Basindo 20) Read More »

Mengapa Mahasiswa Sastra (Tidak) Menulis Sastra? (oleh Fara Ramadanti, Basindo 20)

Apa yang pertama kali terlintas di pikiran ketika mendengar frasa “mahasiswa sastra”? Sosok puitis yang gemar menulis dan meromantisasi segala hal, anak muda kreatif yang rutin mengisi kolom-kolom pada koran serta suatu kanal, atau sekelompok cendekiawan yang kerap membaca berjam-jam hingga anfal? Semuanya kembali pada perspektif masing-masing orang meski pada dasarnya pengertiannya tidak rumit: mahasiswa yang belajar soal struktur kebahasaan dan juga karya sastra. Mereka tidak sekadar dapat ditemui di dalam ruang kelas yang pengap, di tengah ingar bingar pameran buku, atau sudut perpustakaan yang jarang disinggahi orang. Mereka hadir di antara kita semua. Menyimak, mengamati, dan menelaah. read more

Mengapa Mahasiswa Sastra (Tidak) Menulis Sastra? (oleh Fara Ramadanti, Basindo 20) Read More »

Kok Laki-Laki Tidak Mendapatkan Perlindungan dari Pelecehan Seksual? (oleh Ade Fitria, Basindo 20)

Topik pelecehan seksual nyaris selalu menarik perhatian masyarakat, tetapi nyatanya masyarakat justru berat sebelah. Perempuan dianggap sebagai makhluk indah, tak boleh “dirusak” sebelum menikah, dan menjadi lambang kaum lemah pun selalu saja mendapatkan label “korban kejahatan sosial”. Bahkan, perempuan diberi label sebagai makhluk yang jangan terlalu. Jangan terlalu menor, jangan terlalu terbuka bajunya, jangan terlalu pendek roknya, jangan pulang terlalu malam, jangan terlalu “menggoda”, dan jangan terlalu lainnya yang membuat perempuan dianggap keterlaluan. Sebagai oposisinya, laki-laki selalu saja dianggap sebagai pelaku dari pelecehan seksual. Tidak bisa mengontrol diri adalah label yang selalu disematkan kepada laki-laki yang selalu saja disamakan dengan hewan-hewan buas di hutan belantara. Posisi dan label ini sudah lama melekat hingga template dalam melindungi korban dan menghukum penjahatnya selalu sama. Semua hampir selalu merujuk kepada norma dan hukum yang berlaku di masyarakat.  Namun, apa jadinya ketika posisi ini terbalik? Ketika laki-laki menjadi korban pelecehan seksual dan perempuan menjadi pelaku pelecehan seksual? read more

Kok Laki-Laki Tidak Mendapatkan Perlindungan dari Pelecehan Seksual? (oleh Ade Fitria, Basindo 20) Read More »

Hasil Rekrutmen Terbuka KMSI 2022

Halo, Rekan KMSI!

Pada 21—27 Januari 2022, KMSI telah mengadakan Rekrutmen Terbuka Pengurus Inti KMSI 2022 untuk mengisi posisi Sekretaris, Bendahara, Menteri PSDM, Menteri Mikat, dan Menteri Keilmuan. Setelah itu, pada 30 Januari 2022—3 Februari 2022, Rekrutmen Terbuka Pengurus KMSI 2022 pun dilaksanakan. Dari kedua rekrutmen tersebut, telah ditetapkan hasil sebagai berikut.

Hasil Rekrutmen Terbuka KMSI 2022 Read More »

Scroll to Top