Topik pelecehan seksual nyaris selalu menarik perhatian masyarakat, tetapi nyatanya masyarakat justru berat sebelah. Perempuan dianggap sebagai makhluk indah, tak boleh “dirusak” sebelum menikah, dan menjadi lambang kaum lemah pun selalu saja mendapatkan label “korban kejahatan sosial”. Bahkan, perempuan diberi label sebagai makhluk yang jangan terlalu. Jangan terlalu menor, jangan terlalu terbuka bajunya, jangan terlalu pendek roknya, jangan pulang terlalu malam, jangan terlalu “menggoda”, dan jangan terlalu lainnya yang membuat perempuan dianggap keterlaluan. Sebagai oposisinya, laki-laki selalu saja dianggap sebagai pelaku dari pelecehan seksual. Tidak bisa mengontrol diri adalah label yang selalu disematkan kepada laki-laki yang selalu saja disamakan dengan hewan-hewan buas di hutan belantara. Posisi dan label ini sudah lama melekat hingga template dalam melindungi korban dan menghukum penjahatnya selalu sama. Semua hampir selalu merujuk kepada norma dan hukum yang berlaku di masyarakat. Namun, apa jadinya ketika posisi ini terbalik? Ketika laki-laki menjadi korban pelecehan seksual dan perempuan menjadi pelaku pelecehan seksual?
Di sinilah puncak komedi berlangsung. Ketika perempuan menjadi korban pelecehan seksual, orang-orang melindungi korban tersebut (meskipun reaksi pertamanya menghakimi perempuan). Akan tetapi, ketika laki-laki menjadi korban pelecehan seksual, orang-orang justru mengatakan, “Tidak mungkin dia ga suka. Pasti dalam hatinya dia suka. Munafik banget”. Tidak membela korban, justru ingin diperlakukan seperti korban alami. Lalu lucunya, yang berkomentar seperti itu memang kebanyakan sesama laki-laki dan menganggapnya sebagai lelucon. Padahal jika merujuk pada rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang penghapusan kekerasan seksual pasal 1 poin 5 menyatakan bahwa Korban adalah setiap orang yang mengalami peristiwa Kekerasan Seksual dapat kita lihat dengan jelas tidak ada pengkhususan gender dalam menentukan yang mana korban dan yang mana pelaku. Kedua gender yang diakui oleh Republik Indonesia sama-sama berpotensi menjadi pelaku dan korban.
Kalau dilihat dari perempuan sebagai pelaku, perempuan ini justru dilindungi secara buta oleh masyarakat. Anggapan bahwa jika pelaku merupakan seorang perempuan, tidak mungkin ia melakukan hal-hal buruk apalagi sampai pelecehan seksual. Perempuan yang dianggap sebagai sosok yang anggun seperti angsa dan bidadari ini menjadi terlepas dari dosa sebagai pelaku kejahatan hanya karena masyarakat menggeneralisasikan perempuan sebagai “korban pelecehan seksual”. Masyarakat tidak sadar bahwa terlepas dari jenis kelamin apapun, seseorang bisa berpotensi sebagai pelaku pelecehan seksual dan korban pelecehan seksual.
Dalam video yang viral di Twitter pada 18 April 2022 dari akun @ShadesofSupreme, terdapat seorang penyanyi laki-laki asal Nigeria yang bernama Ruger mengalami pelecehan seksual. Ketika sedang bernyanyi di atas panggung dan ingin mendekati penonton, tiba-tiba ada seorang perempuan yang memegang bahkan terlihat seperti meremas alat kelamin Ruger. Ruger yang kaget dengan serangan mendadak seperti itu langsung menahan tangan perempuannya dan diam tidak bisa berkata apa-apa. Bahkan terlihat di wajahnya bahwa ia merasa malu, merasa marah, dan kecewa. Dalam unggahan video tersebut, pemilik akun membuat caption “I know She gripped them ballsss hard” yang artinya “Aku tahu dia mencengkeram keras bola-bola itu”. Tidak hanya itu, beberapa komen justru menertawakan kejadian ini hingga sampai sempat viral lagi pada 20 April 2022 karena tweet tersebut di-quote tweet oleh @mattxiv yang berisi “this is sexual assault” yang diartikan “Ini adalah kekerasan seksual”. Mulai dari situlah pandangan terhadap kejadian ini berubah menjadi membela korban.
Puncak komedi lainnya adalah pelaku dari pelecehan seksual ini membuat video klarifikasi yang poin utamanya adalah hal tersebut bukan kesalahan pelaku. Dia mengatakan bahwa dia hanya memegang sesuatu dan bukan membunuhnya jadi dia tidak merasa itu sebuah kejahatan karena dia berpikir bahwa dia melihat sesuatu dan wajar untuk menyentuhnya. Alasan yang tidak jelas padahal dia sudah melakukan pelecehan seksual di ruang publik dan tersebar di dunia maya ini membuat netizen geram. Dalam kejadian ini, banyak netizen yang sambat, tetapi banyak juga yang mengedukasi. Memberikan pandangan dari kesetaraan gender yang menyatakan bahwa jika perempuan mendapatkan perlindungan dan keamanan dari pelaku pelecehan seksual, laki-laki juga pantas mendapatkan hal yang sama. Perlindungan yang sama untuk korban dan hukuman yang sama untuk pelaku terlepas dari jenis kelamin dan gender apapun.
Sayangnya, di Indonesia belum ada aturan undang-undang pelecehan seksual, tetapi perbuatan asusila dan pencabulan tersebut diatur ke dalam pasal 290 KUHP mengancam pelakunya dengan hukuman penjara maksimal selama 7 tahun dan KUHP Indonesia pasal 294 ayat 2. Untuk perlindungan kepada korbannya sendiri, undang-undang pelecehan seksual yang mengatur korban atau saksi memang tidak ada secara khusus. Akan tetapi, pihak penegak hukum sendiri berpegang teguh pada pasal 6 UU Nomor 31 Tahun 2014 mengenai perlindungan saksi dan korban. Ada pula UU ketenagakerjaan pasal 86 ayat yang mempunyai aturan mengenai pekerja berhak mendapatkan perlindungan moral.
Kesimpulannya adalah kesetaraan gender ini masih kurang dalam memandang sebuah kasus di dunia nyata. Perlindungan dari pelecehan seksual masih hanya dimiliki untuk perempuan, sedangkan laki-laki hanya kebagian menjadi bahan tertawaan. Sedangkan untuk pelakunya, pelaku laki-laki berusaha untuk dihukum seberat-beratnya, tetapi pelaku perempuan tidak diusahakan untuk mendapatkan hukuman yang setara dengan pelaku laki-laki. Semoga selanjutnya masyarakat bisa mulai untuk menegaskan kembali kesetaraan gender hingga tidak hanya perempuan yang dilindungi secara hukum dan norma lainnya, tetapi laki-laki juga karena laki-laki juga manusia yang berhak mendapat perlidungan.